EXPLORASI GUA JOMBLANG ALAS
Kali ini kita
akan membahas tentang explore Caving Aldakawanaseta beberapa waktu yang
lalu,yaitu “Explorasi Gua Jomblang”.
Pertama-tama
kita akan membahas dahulu tentang profil Gua Jomblang. Gua Jomblang merupakan
gua vertical yang terletak di Wonosari,Gunung Kidul- Yogyakarta. Gua Ini
memiliki diameter entrance (mulut gua) yang berbeda dari enterance gua-gua
lainnya,karena entrance gua jomblang begitu besar yaitu +- 60m.Tetapi bukan
hanya diameter entrancenya saja yang begitu besar,namun juga dengan variasi
kedalaman gua tersebut.Kedalamannya mulai dari 10m,30m,50m dan bahkan kata
narasumber ada yang mencapai 100m, itulah mungkin yang menjadikan Gua Jomblang
menjadi tujuan para caver,karena keistimewaannya ini.
Oke,tadi sekapur
sirih dari Gua Jomblang,sekarang kita lanjut ke explorasi Aldakawanaseta.
Explorasi kali ini dipersoneli oleh Wahyu(Gepeng), Anna(Doro), Uyun(Wader),
Adri(Bandeng), David(Gojeb), dan Nathan(Codot). Sebenarnya Tujuan Explorasi
yaitu Gua Kayu Ares yang terletak di Parang Endog - Yogyakarta,namun karena gua
tersebut tidak bisa ditelusur karena factor alam,maka kami berpindah ke Gua
Jomblang. Kami berangkat dari Semarang menuju Parangndog-Yogyakarta sekitar jam
15.00 WIB dan sampai pukul 19.30WIB,dan karena gua Kayu Ares tidak bisa
disusur,maka kami memutuskan untuk mengexplorasi gua Jomblang pada keesokan
harinya.Pagi harinya pukul 08.00WIB, kami melanjutkan perjalanan menuju Gua
Jomblang yang ditempuh dalam waktu ±3 jam. Sesampainya
di basecamp gua jomblang yang bertempat di rumah kepala dusun yang dipanggil
“Pak Brewok”,kami meminta ijin untuk menelusur gua jomblang dan istirahat
sejenak.
Setelah
cukup beristirahat dan memulihkan tenaga, pukul 14.30 WIB kami langsung
persiapan dan berangkat menuju lokasi penelusuran yang ditempuh selama ±30menit menggunakan motor. Sesampainya di lokasi,kami langsung
melakukan pembagian tugas untuk explorasi.
Doro as rigging man,Codot as Cleaning, Gojeb as deviator, Wader dan Gepeng as
Penyusur ke-2 dan ke-3. Pertama-tama,Doro membuat 2 anchor sebagai backup
pengaman yang diikatkan pada pohon, kemudian membuat anchor utama dengan
memanfaatkan batu tembus. Setelah turun kira-kira 2m,leader membuat
intermediate dengan memanfaatkan batu tembus untuk menghindari friksi tali.
Doro sampai di dasar gua pukul 17.16 dengan kedalaman gua sedalam 52m.
Selanjutnya diteruskan penyusur selanjutnya. Setelah semua anggota team sampai
di dasar (kecuali Bandeng),kami menyusur gua jomblang.Setelah perjalanan top
(tidak ada jalan lagi) pada ornament gua yang cukup besar, kami kemudian
melanjutkan kegiatan kami,yaitu pemetaan gua (mapping). Pemetaan berlangsung
selama ±3jam. Setelah pemetaan selesai,semua
anggota team kembali naik ke atas. Cleaning dilakukan pukul 04.50 WIB dan
selesai cleaning pukul 05.30 WIB. Setelah cleaning selesai, kami beristirahat
sejenak untuk memulihkan tenaga yang cukup terkuras. Waktu pun menunjukan pukul
09.50 WIB dan kami mulai packing dan kembali ke basecamp jomblang untuk
bersih-bersih. Pukul 13.45 WIB kami meninggalkan basecamp jomblang untuk pulang
ke semarang, dan kami sampai di semarang pukul 18.45 WIB.
Nah,berakhirlah
explorasi kali ini,nantikan cerita petualangan Aldakawanaseta selanjutnya. Ini
Ceritaku,Apa Ceritamu???????
Semoga dapat menjadi referesi saudara petualang yang mau menyusur Goa Jomblang.
Salam Lestari!!!!!!!!
SEJARAH CAVING / SUSUR GOA
Caving atau penelusuran gua, boleh dibilang cukup lama dikenal
Indonesia. Persisnya kegiatan ini sudah mulai marak tahun 1980-an,
ketika Persatuan Speleologi dan Caving Indonesia (Specavina) dibentuk di
Bogor dengan tokoh-tokohnya antara lain dr. Ko King Tjoen, Norman Edwin
(alm), Dr. Budi Hartono, dan Effendi Soleman. Mulailah dari sini
kegiatan yang jadi hobi baru kala itu menyebar, terutama di
kampus-kampus.
Hobi ini agaknya di awal perkembangannya
terseok-seok karena yang didalaminya tak melulu keterampilan fisik saja
namun juga aspek ilmiahnya. Selain, peralatan yang dibutuhkan pun sulit
dibeli di sini. Specavina, ketika itu pula agak selektif membagi ”ilmu”
pada peminat. Hanya mereka yang memiliki latar belakang keilmuan atau
yang menyukai pengetahuan tentang speleologi yang boleh bergabung.
Specavina sebagai pelopor ketika itu sengaja lebih menonjolkan unsur
ilmiahnya (speleologi) ketimbang ”olahraganya” (caving).
Salah
satu aspek yang harus diketahui penggemar caving adalah pengetahuan
dasar geologi. Terutama bagaimana awal gua itu terbentuk, di daerah mana
bisa ditemukan, sifat batuannya, jenis gua, dan sebagainya. Dengan
dasar pengetahuan ini, caver (penelusur gua) bisa dengan mudah menemukan
gua. Sebab, mereka hanya akan mendatangi wilayah yang banyak terdapat
batu gamping.
Secara teori demikianlah adanya. Gua banyak terdapat di
kawasan batu gamping (karst). Berbekal pengetahuan itu pula jika bisa
membaca peta geologi, maka di mana saja sebaran daerah karst, di sana
tujuan yang tepat untuk perjalanan melakukan ekspedisi.
Aspek
lain yang tak kalah penting adalah biologi gua (biospeleologi). Memang
tak harus menjadi ahli biologi dulu baru bisa menekuni caving. Tapi
paling tidak dengan modal ”baca-baca” dulu, penelusur gua bisa
membandingkan flora fauna antara gua yang satu dengan lainnya. Atau
mungkin dia menemukan spesimen baru yang bisa menambah khasanah
pengetahuan biologi gua di Indonesia. Dia pun menjadi tahu bagaimana
cara menyimpan koleksi itu dengan baik sebelum dibawa ke pakarnya untuk
diidentifikasi.
Keunikan
Fauna gua terbilang unik. Semuanya
beradaptasi dengan lingkungan gelap abadi tak hanya terbilang puluhan
atau ratusan, tapi ribuan tahun. Mereka berevolusi disesuaikan dengan
alamnya yang gelap gulita. Di sebuah gua di Amerika pernah ditemukan
salamander transparan dan tak bermata (eyeless), bahkan buta (blind).
Diduga salamander itu terjebak di dalam gua dan tak bisa keluar.
Untuk
bertahan hidup satwa itu mengembangkan indera peraba dan perasanya
sedemikian rupa untuk menggantikan fungsi matanya. Lama-kelamaan alat
penglihatan itu tertutup selaput karena mubazir.
Begitu pun flora
dalam gua yang beradaptasi dengan lingkungan gelap total. Tumbuhan untuk
hidup di permukaan memerlukan sinar matahari. Tumbuhan berdaun belum
pernah dilaporkan ditemukan di dalam gua. Yang lazim dijumpai adalah
aneka jamur yang bentuknya aneh-aneh. Misalnya ada jamur yang memiliki
leher yang panjang, dengan topi kecil namun lunglai.
Di Indonesia
penemuan satwa gua yang terbilang sensasional pernah terjadi. Tapi
sayangnya itu tak tercatat di lembaga resmi pemerintah atau
internasional. Di tahun 1980-an, persisnya tahun berapa sudah .lupa,
klub penelusur gua Garbhabhumi dari Jakarta ketika terjadi gerhana
matahari total, masuk ke Gua Ngerong di Tuban, Jawa Timur. Bentuk gua
itu adalah gua air yang merupakan sungai.
Klub yang dipimpin Norman
Edwin (alm) saat itu menerobos masuk dan melawan arus dengan perahu
karet. Tak sampai satu kilometer, mereka terbentur air terjun. Setelah
memanjat air terjun, langkah mereka terhenti sebab di bagian atasnya
terdapat mata air. Lorong itu mungkin bisa ditelusuri lebih jauh, namun
memerlukan teknik dan peralatan diving. Diputuskan ketika itu untuk stop
dan kembali ke luar.
Di bagian inilah mereka secara tak sengaja
melihat kelap-kelip di dalam air yang memantul dari sinar lampu.
Ternyata barang yang mengkilat itu adalah ikan. Setelah dipelototin
lebih dekat lagi, ikan itu tak bermata dan transparan.
Dibalut rasa
girang, spesimen itu dibawa ke Jakarta untuk diidentifikasi. Beberapa
bulan ikan yang mirip anak tawes itu masih hidup dalam akuarium yang
dikondisikan seperti di alamnya oleh Riza Marlon (kini juru foto
profesional).
Oleh Yatna Supriatna, kini doktor biologi, temuan itu
diidentifikasi sebagai Puntius microps. Sebagai pembanding, satwa
eyeless di gua di Amerika atau Eropa baru dijumpai di kedalaman puluhan
kilo sampai ratusan. Tapi di Tuban, tak sampai 2 kilometer. Mungkin ini
bisa menjadi bahan kajian ilmuwan kita yang tertarik pada cave biology.
Jika di sana, gua bisa melahirkan ratusan doktor, mengapa di sini tak
bisa? Takut gelapkah, becek dan bayangan mistis tentang gua yang
mengakibatkan orang enggan berurusan dengannya?
**Pemetaan Gua**
Masuk
gua memang bukan sekadar masuk dan mengagumi keindahan di dalamnya
saja. Namun banyak yang harus dikerjakan. Apalagi ketika zaman itu belum
banyak perkumpulan penelusur gua sehingga untuk mengklaimnya harus
dibuktikan dengan peta dan foto-foto. Keakuratan peta sebuah gua dilihat
dari siapa yang membuatnya. Sayangnya kebanggaan dan semangat untuk
membuat peta gua oleh klub-klub caving di Indonesia, melempem.
Hal
ini berbeda dengan kondisi klub penelusur gua di luar negeri. Mereka
begitu getol menyusun peta gua hingga ke hal yang detail. Sampai
akhirnya tercipta lambang-lambang khusus dalam pemetaan gua yang
jelimet. Jika ada hal khusus yang ditemukan, misalnya speleothems
(bentukan gua seperti stalaktit, stalakmit, gourdam, straws, pearls cave
dan sebagainya) yang mungkin istimewa bentuknya, biasanya peta itu
dibuat irisan dengan gambar detail atau lambang. Di peta tersebut
biasanya tercantum grade, semakin tinggi angka yang tercantum dalam
grade itu maka semakin akurat peta itu dibuat.
Di sana yang enak
adalah generasi selanjutnya. Jika ingin masuk gua tinggal masuk dengan
panduan peta. Namun penelusur di sana bukan sekadar mengikuti petunjuk
peta.
Bila denah yang dibuat sebelumnya ada kesalahan maka akan
dikoreksi dan dilaporkan ke paguyuban penelusur gua. Maka tak
mengherankan jika kini hampir pasti peta gua di negara-negara maju,
akurat. Semua gua sudah terpetakan yang diikuti dengan data base yang
lengkap.
Saking lengkapnya, mereka bisa tahu mana gua yang terpanjang
atau yang terdalam di dunia. Gua yang terdalam dan sampai kini belum
terpecahkan rekornya adalah Voronja Cave di Georgia, pecahan bekas Uni
Soviet, yakni 1.710 meter.
Bayangkan untuk menuruninya berapa
panjang tali yang dipakai dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk
sampai ke dasar gua. Sementara gua yang terpanjang dan kompleks sekali
lorong-lorongnya adalah Mammoth Cave di Amerika Serikat yakni, 563,270
km dan dalamnya -116 m. Lebih lengkapnya silakan klik
www-sop.inria.fr/agos-sophia/sis/DB/database.html. Di sini ada sedikit
data gua di Indonesia.
Kabar bahwa pemetaan gua tak begitu
berjalan di Indonesia, sudah bisa dimaklumi. Karena penggemar caving di
sini cenderung menyukai dari sisi olahraga dan petualangannya. Aspek
ilmiah bukannya tak menarik, tapi kurang menguasai. Pakar biologi atau
geologi yang sesungguhnya di Indonesia, adakah yang membangun tesis dari
gua? Kalaupun ada mungkin jumlahnya tak sampai hitungan jari sebelah
tangan.
**Incaran Dunia**
Potensi gua di negeri ini
sebetulnya tak kalah menarik dengan yang ada di luar negeri. Ketika
tahun 1980-an, wilayah ini menjadi incaran caver dunia. Berbagai cara
mereka lakukan untuk bisa caving di sini, namun terbentur peraturan yang
menyebutkan peneliti asing harus seizin LIPI. Adanya peraturan itu
sebetulnya ada bagusnya. Mereka jadi tak seenaknya ”mengeksplorasi” gua
di Indonesia. Sayangnya, kesempatan itu tak dipakai oleh penelusur gua
kita untuk menjadikan dirinya sebagai yang pertama.
Belakangan
seorang ahli geologi yang juga seorang caver berkebangsaan Inggris, Tony
Waltham, masuk lewat jalur sebuah departemen. Dia datang konon membantu
pengairan di daerah Gunung Kidul yang tandus.
Sebagai pakar
geologi, dia tahu betul bahwa air di sana hanya dijumpai di sungai bawah
tanah alias di dalam gua-gua. Dia pun paham bahwa Gunung Kidul adalah
kawasan karst yang nota bene adalah sarangnya gua yang belum diutak-atik
oleh caver mana pun. Sepulangnya dari Indonesia tak lama kemudian
terbitlah buku tentang gua-gua di sana, berikut foto-foto yang menawan.
Potensi
gua yang masih menjanjikan, menurut peta geologi terletak di Sulawesi
dan Papua. Tapi yang menantang adalah yang di Papua. Di peta tertulis
selain kawasan karstnya luas, juga ”ketebalannya” mencapai ribuan meter.
Artinya, jika ada gua vertikal (pothole) di Papua maka kedalamannya
berpotensi mengalahkan Gua Voronja di Georgia!!